Beranda | Artikel
Refleksi Surat Al-Ashri
Minggu, 3 Januari 2021

REFLEKSI SURAT AL-ASHRI[1]

Oleh
Syaikh Dr. Muhammad Musa Alu Nashr

وَالْعَصْرِ

Demi masa“.

Al Ashr, menurut pendapat yang terkuat adalah ad dahr atau az-zaman (masa). Mengapa bersumpah dengan waktu? Allah bersumpah dengan (demi) waktu karena nilai urgensitasnya. Dalam (masalah) waktu, manusia terbagi menjadi dua keadaan: (yang) merugi dan beruntung.

Barangsiapa (yang) menghabiskan waktunya untuk perbuatan sia-sia dan kebatilan, untuk hal-hal yang kufur dan maksiat, maka ia merugi. Namun, jika ia menggunakan waktunya untuk ketaatan, belajar ilmu agama, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, untuk jihad melawan musuh-musuh Allah, maka ia beruntung, dengan menghuni surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, manusia tidak diciptakan dengan sia-sia. Allah menciptakan manusia untuk tujuan yang agung, yang menjadi tonggak penegakan langit dan penghamparan bumi. Allah berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ مَآ اُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh“.[Adz Dzariyat/51:56-58].

Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci agar tidak ada yang disembah kecuali hanya Allah, dan agar Allah tidak disembah kecuali sesuai dengan tuntunan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, yang pertama ialah memurnikan agama untuk Allah. Dan kedua memurnikan mutaba’ah (sikap meneladani) hanya kepada Rasulullah. Kedua hal inilah yang menjadi konsekuensi dari firman Allah:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya“.[Al-Kahfi/18:110].

Karena itu, langit dan bumi tegak di atas dua pilar:

  • Tidak ada yang disembah, kecuali hanya Allah, dan
  • Mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin.

Inilah konsekuensi dua kalimat syahadat, yang berarti tidak ada yang berhak disembah di alam semesta ini kecuali hanya Allah. Dan tidak ada yang diikuti secara benar kecuali Rasulullah. Barangsiapa yang tidak menyembah Allah dan tidak mengikuti Rasulullah, atau menyembah Allah tetapi tidak mengikuti Rasulullah, maka ia merugi selama-lamanya.

Allah bersumpah dengan waktu lantaran keagungan fungsionalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Padahal Allah berkuasa menciptakannya dalam sekejap dengan cukup mengatakan: كُنْ (jadilah). Akan tetapi, Allah ingin memberikan satu teladan dan ketentuan hukum dalam hidup ini. Yaitu agar kita beraktifitas dengan mengoptimalkan waktu. Jika seseorang berkeinginan kuat mempertahankan nyawa dan cahaya matanya, maka ia harus lebih kuat keinginannya dalam memanfaatkan waktunya. Sebab, waktu adalah kehidupan. Ia lebih mahal dari harta. Mereka mengatakan, waktu adalah emas. Yang benar, waktu lebih mahal dari emas. Waktu adalah umur. Modal kita adalah nafas. Nafas yang telah dihembuskan tidak dapat kembali lagi. Engkau adalah rangkain untaian nafas. Jika nafas-nafas itu habis, maka tamatlah riwayat kehidupanmu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan tentang kewajiban mengoptimalkan waktu meskipun pada hembusan nafas yang terakhir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إلهَ إِلاَّ الله

Tuntunlah orang yang mau meninggal di antara kamu untuk mengucapkan لااله الاالله

كَانَ آخِرَ كَلامِهِ لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Barangsiapa yang akhir percakapannya itu  لااله الاالله  maka ia akan masuk surga.

Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengucapkan kalimat tauhid ini? Sungguh, dapat diucapkan dalam hitungan detik. Perhatikanlah, betapa beruntungnya orang yang memanfaatkan beberapa detik saja dari waktunya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pentingnya bekerja dan beramal, dan buruknya berpangku tangan atau bermalas-malasan. Beliau selalu memohon perlindungan kepada Allah dari penyakit malas yang mematikan ini. Rasulullah bersabda:

إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا

Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah

Orang yang melihat matahari terbit dari barat masih diperintahkan untuk bercocok tanam dan beramal. Karena itu, mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak mengenal batas akhir. Adapun hadits “mencari ilmu itu sejak berada di ayunan ibu hingga masuk liang lahat” dan hadits “carilah ilmu walau di negeri Cina”, keduanya adalah dhaif (lemah).

Cukuplah bagi kita hadits shahih ini untuk merangsang semangat mencari ilmu :

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi..”.[2]

Umur umat Islam ini pendek, akan tetapi amalannya banyak dan pahalanya dilipatgandakan. Nabi Nuh Alaihissallam selama 950 tahun berdakwah menyerukan tauhid (dan) kita tidak mengetahui berapa lama dia hidup sebelum dan sesudah itu, tetapi amalan dan pahala mereka sedikit. Sementara umat ini, yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm bahwa usia umatku antara 60 dan 70 tahun, sedikit sekali yang melebihi batas itu. Akan tetapi pahalanya dilipatgandakan. Perhatikanlah, misalnya Lailatur Qadar yang pahalanya –barangsiapa melaksanakan ibadah pada malam itu– maka pahalanya sama dengan beramal selama 83 tahun. Bagaimana jika dia beramal selama 10 kali Lailatur Qadar? Tentu nilainya sama dengan 830 tahun. Dan kalau 20 kali, maka sama dengan 1660 tahun. Maka, seolah-olah kalian telah mengungguli Nuh Alaihissallam. Lalu bagaimana lagi jika melakukan haji, umrah, jihad, dan sebagainya?

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Allah bersumpah demi masa. Kesempatan di dunia adalah ladang amal bagi akhirat ; akan beruntung orang yang untung, dan merugilah orang yang rugi.

(Perhatikanlah!), tujuan hidup di dunia ini untuk menanam kebaikan dan amal shalih yang dapat dipetik buahnya di akhirat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

Allah telah memutus udzur orang yang dipanjangkan usianya hingga 60 tahun“. [HR. Bukhari 6419].

Artinya dia tidak lagi memiliki alasan lagi untuk membela diri di hadapan Allah.

Kalian sekarang berada pada masa muda, masa kuat, masa produktif dan beramal. Islam dimenangkan melalui tangan anak-anak muda. Mereka adalah tulang punggung umat, aliran darah yang dipacu di dalam tubuh umat. Sehingga syetan sangat berambisi menjauhkan para pemuda dari agama Allah ini. Syetan mengendus-endus hati pemuda. Jika ia mendapatinya pemalas, maka syetan menyeretnya agar menjadi sampah masyarakat dan perusak kehidupan. Akan tetapi, bila melihatnya cinta agama, maka syetan menipunya agar melampaui batas dalam beragama, sehingga ia hidup dalam bid’ah yang merusak agama.

Semua manusia berada dalam kerugian yang besar, kecuali orang-orang yang memiliki empat sifat, sehingga dapat keluar dari kerugian menuju keberuntungan.

1. Iman. Ini Adalah firman Allah.اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
Iman menurut bahasa berarti iqrar (pengakuan). Yaitu mengikrarkan لااله الاالله dengan lisan dan meyakininya dalam hatinya. Jadi harus membenarkan dengan hati dan menyatakan dengan lisan, tidak cukup pembenaran saja. Orang yang tidak dapat mengungkapkannya dengan lisan, boleh dengan isyarat, sebab, menurut kaidah bahasa dan syara’ (agama), hal itu termasuk kalam (ucapan) –misalnya dalam riwayat “Tanyakanlah kepada anak kecil ini”. Mereka berkata: “Bagaimana mungkin dia berbicara?” Jadi mereka memahami isyaratnya dan memahami apa yang ia maksudkan-.

Seandainya pembenaran (tashdiq) saja cukup, tentu Abu Thalib adalah mukmin, sebab hatinya membenarkan. Akan tetapi, hal itu tidak memasukkannya ke dalam kaum muslimin. Abu Thalib menyatakan: “Saya mengetahui bahwa agama Muhammad adalah sebaik-baik agama. Seandainya bukan karena takut cemoohan dan cacian, tentu aku telah menerimanya“.

Sebelum meninggalnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Hai, Paman! Ucapkanlah satu kalimat, yang dengannya aku akan membelamu di hadapan Allah”. Ternyata Abu Jahal dan kawan-kawannya mencegah dan melarangnya dengan mengatakan: “Apakah engkau akan meninggalkan agama bapakmu?” Sehingga akhir ucapan Abu Thalib adalah “Dia tetap berada di atas agama Abdil Muththalib”.

Secara syar’i, definisi iman menurut Ahlu Sunnah adalah iqrar dengan lisan, tashdiq dengan hati dan amal dengan anggota badan, bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat. Amal shalih adalah bagian yang tak terpisahkan dari iman. Mereka, Ahli Sunnah tidak mengesampingkan amal dari lingkaran iman sebagaimana yang diyakini kaum Murji’ah. Dalam kacamata mereka, iman makhluk yang paling bertaqwa –misalnya Jibril- adalah sama dengan iman orang yang paling fasik. Asumsi mereka (ialah), “sebagaimana halnya ketaatan tidak berguna di hadapan kekufuran, maka begitu pula maksiat, tidak membahayakan keimanan”.

Para sahabat, para tabi’in, para ahli hadits, imam madzhab empat dan ulama hingga hari Kiamat, mengatakan bahwa iman bertambah dan berkurang. Antara yang satu dengan lainnya, masing-masing berbeda tingkatan keimanannya, sesuai dengan tingkat perbedaan ketakwaan dan amal shalihnya. Allah berfirman:

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَءَاتَاهُمْ تَقْوَاهُم ْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya“. [Muhammad/47:17].

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana“. [Al-Fath/48 :4].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidak akan berzina orang yang berzina itu, ketika ia berzina dalam keadaan mukmin. Tidak akan mencuri orang yang mencuri, saat ia mencuri dalam keadaan mukmin“.

Sedangkan rukun iman, menurut Rasulullah adalah enam, sebagaimana termuat dalam hadits Jibril dari Umar Radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Jadi untuk merealisasikan iman, harus memenuhi dua hal.

  • Yaitu lepas dari semua sesembahan dan menetapkan satu sesembahan yang benar, yakni Allah.
  • Yaitu mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salalm secara lahir dan batin, dengan meyakini bahwa tidak ada Nabi lagi setelah Beliau yang diutus kepada seluruh umat manusia hingga hari Kiamat. Dan Al Qur’an tidak mungkin dipahami, kecuali melalui Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Aku tinggalkan di tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat sesudahku selama kalian berpegang teguh dengan keduany, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku[3].

أَلاَ إِنِّي أُتِيْتُ الْكِتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

Ingatlah, aku diberi Al Qur’an dan diberi semisalnya bersamanya. [HR Ahmad dan Abu Dawud].

Maka barangsiapa beriman, berarti dia telah keluar dari kerugian.

2. Amal Shalih.
Amal shalih selalu disebut bergandengan dengan iman. Amal itu tidak disebut shalih, kecuali dengan dua syarat. Pertama, dilakukan dengan ikhlas karena wajah Allah. Kedua, sesuai dengan petunjuk Rasul Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang menjadi rukun diterimanya amal.

Telah kita sebutkan firman Allah:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya“. [Al-Kahfi/18:110].

Berdasarkan ini, amalan yang ikhlas tetapi menyalahi petunjuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sesuai dengan petunjuk Rasul, namun dilakukan tanpa ikhlas, maka tertolak oleh Allah. Dua hal ini ibarat dua sayap burung, ia tidak bisa terbang kecuali dengan keduanya. Bila salah satunya terpotong, ia tidak bisa terbang.

Ahli bid’ah banyak menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi tanpa dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm. Maka amalan-amalan mereka itu tertolak dan pada hari Kiamat nanti mereka akan diusir dari telaga Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi akan mengatakan: “Umatku, umatku”. Maka dikatakan: “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu”.

3. Saling Berwasiat Dengan Kebenaran.
Kita mengetahui, al haq adalah Islam dan syariat Islam, Al Qur’an dan Sunnah. Allah berfirman:

وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا

Dan Kami turunkan (Al Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur’an itu telah turun dengan membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan“. [Al-Isra/17: 105].

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap“.[Al-Isra/17: 81].

Tidak cukup seseorang itu menjadi mukmin, ‘abid (ahli ibadah) dan beramal shalih, tetapi ia harus berdakwah, menyampaikan, membimbing orang lain kepada kebaikan dan harus ikut andil mengemban risalah Islam.

Tawashi, adalah bentuk kata yang mengikuti wazan تَفَاعُلْ, yaitu shighah mubalaghah (bentuk kata untuk menambah intensitas tindakan). Artinya, saya berwasiat kepada Anda dengan benar dan Anda juga berwasiat kepada saya dengan benar. Guru berpesan kepada murid, murid kepada murid, orang tua kepada anak, pemimpin kepada rakyat, rakyat kepada rakyat, dan seterusnya. Ini adalah amanah di pundak umat. Anda akan ditanya tentangnya oleh Allah. Oleh karena itu, tidak cukup hanya dengan mengusung syi’ar-syi’ar Islam saja. Melainkan harus mengemban dakwah. Dengan berdakwah, berarti Anda telah melakukan amalan yang terbaik, yaitu amalan yang menjadi tugas para nabi. Allah berfirman

وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” [Fushshilat/41:33].

Jika Anda telah berdakwah, berarti telah menyerupai para nabi dan pemimpin para nabi. Manakala berdakwah, Anda harus mengikuti akhlak Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dalam firman Allah

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.[An-Nahl/16:125].

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu“. [Ali-Imran/3:159].

Kebenaran ini sudah terasa berat, maka janganlah Anda memperberat lagi dengan sikap keras dan kasar. Dakwah itu harus dengan penampilan dan tutur kata yang bagus. Ketika diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun ; manusia sombong yang mengatakan “Aku tidak mengetahui untuk kalian sesembahan selain aku”, Nabi Musa dan Harun Alaihissallam diperintahkan Allah untuk bersikap lembut kepadanya. Allah berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut“.[Thaha/20 :44].

Meskipun demikian, seorang dai pasti menghadapi cobaan dan tantangan, pasti dicemooh dan dilecehkan, dan terkadang diusir. Demikian ini sunnatullah untuk para nabi dan pengikutnya. Jika seseorang mengemban tugas nabi, pasti akan dimusuhi meskipun sangat lunak dan santun dalam dakwahnya.

4. Saling Berwasiat Sabar.
Jalan dakwah tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga yang mewangi, dan tidak pula dihampari dengan sutra yang memikat hati. Dakwah adalah jalan terjal yang sulit. Karena itu, diperlukan adanya tekad dan kesabaran.

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik“.[Al-Ahqaf/46:35].

Martabat para nabi itu di atas kita. Meskipun demikian, di antara para nabi ada yang dibunuh, ada yang disalib, ada yang dibelah dengan gergaji. Nabi kita sendiri banyak mengalami siksaan dari orang-orang musyrik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilempari batu hingga berdarah-darah kaki dan kepalanya, dilempari dengan kotoran di punggungnya, dituduh sebagai tukang tenung atau dukun santet, tetapi Beliau senantiasa bersabar dan tawakal.

Setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari Thaif, Jibril Alaihissallam datang kepada dengan ditemani malaikat penjaga gunung. Jibril mengatakan: “Sesungguhnya Allah mendengar dan melihat apa yang dilakukan kaummu terhadapmu. Dan Dia menyampaikan salam untukmu. Bersamaku, malaikat penjaga gunung. Jika engkau menghendaki, dia akan menjatuhkan Ahsyabain (dua gunung besar yang mengapit Mekkah) pada penduduk Mekkah”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Tidak! Aku akan tetap bersabar. Siapa tahu Allah akan mengeluarkan dari tulang rusuk mereka orang yang akan menyembah Allah secara tauhid, tidak melakukan syirik sedikit pun,” bahkan Nabi berdo’a: “Ya, Allah. Berilah kaumku petunjuk. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak tahu”. Sehingga banyak orang yang masuk Islam karena kesabaran Beliau, ampunan Beliau dan santun Beliau dalam berdakwah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul menjadi rahmat yang dihadirkan Allah untuk umat manusia sebagaimana bunyi hadits « اَناَ رَحْمَةً مُهْدَاة »aku adalah rahmat yang dihadiahkan (Allah).

Begitulah seharusnya para guru, da’i dan para muballigh. Mereka harus memberikan kasih-sayang, memilih cara yang terbaik dan bersabar atas gangguan yang diterimanya. Akhlak yang sejati bukanlah menahan diri untul membalas gangguan, tetapi menyabarkan diri ketika diganggu. Apabila Anda beriman, beramal shalih, berdakwah dan bersabar, maka Anda termasuk orang-orang yang beruntung, mendapatkan semua yang dicita-citakan, selamat dari segala yang Anda takutkan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari ceramah Syaikh Dr. Muhammad Musa Alu Nashr di Masjid Universitas Islam Negeri Malang, pada hari Rabu, 8 Desember 2004. Diterjemahkan oleh Agus Hasan Bashori, (dengan sedikit penyesuaian –ed)
[2] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80-al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu
[3] Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/26423-refleksi-surat-al-ashri-2.html